Sunday, December 26, 2010

Pesantren Al Hamidiyah

Mendirikan pesantren untuk mengembangkan dakwah Islamiyah merupakan salah satu cita-cita luhur KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Sebagai orang yang sejak kecil hidup dan dididik di lingkungan pesantren, wajar saja jika KH. Achmad Sjaichu bercita-cita untuk mendirikan sekaligus mengasuh pesantren. Siapakah KH. Achmad Sjaichu, pendiri dan pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah ini ?
KH. Achmad Sjaichu dilahirkan di daerah Ampel, Surabaya, pada hari Selasa Wage, 29 Juni 1921. Beliau putra bungsu dari dua bersaudara putra pasangan H. Abdul Chamid dan Ny. Hj. Fatimah. Pada usia 2 tahun Sjaichu sudah yatim, ditinggal wafat oleh ayahnya. Sepeninggal ayahnya, Achmad Sjaichu bersama kakaknya , Achmad Rifa'i, diasuh oleh ibunya dengan tekun dan tabah. Untuk memperoleh pendidikan agama, Sjaichu belajar kepada K. Said, guru mengaji bagi anak-anak di sekitar Masjid Ampel. Pada usia 7 tahun Sjaichu sudah menghatamkan Al-Qur'an 30 Juz.
Selain belajar agama, Sjaichu juga menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat Mardi Oetomo, sebuah sekolah yang dikelola Muhammadiyah. Tak lama belajar di sekolah ini, oleh H. Abdul Manan, ayah tirinya, Sjaichu dipindah ke Madrasah Taswirul Afkar. Lembaga pendidikan ini didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Mas Mansur dan KH. Dachlan Achyat. Madrasah ini kemudian dikenal sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama.
Untuk membantu meringankan beban ibunya yang harus menghidupi putra-putranya, setelah H. Abdul Manan wafat, pada usia kanak-kanak Sjaichu sudah sudah mulai bekerja di perusahaan sepatu milik Pak Denya, Mohammad Zein bin H. Syukur. Dan terpaksa untuk beberapa lama ia tidak melanjutkan sekolah.

Sjaichu kembali kebangku sekolah sesudah selama dua tahun bekerja dan memiliki bekal yang relatif cukup. Ia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan, sebuah lembaga pendidikan yang juga didirikan oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah. Sambil belajar, Sjaichu kembali bekerja pada seorang tukang jahit kenamaan di Pacar Keling, Mohamad Yasin. Di Nahdlatul Wathan ia dibimbing seorang guru yang kemudian sangat mempengaruhi perkembangan Sjaichu, yaitu KH. Abdullah Ubaid. Selain itu ia juga berguru kepada KH. Ghufron untuk belajar ilmu Fiqh.
Tahun 1937, setamat Sjaichu dari Nahdlatul Wathan, Ny. Fatimah yang sudah dua kali menjanda diperistri seorang ulama besar yang juga pendiri Nahdlatul Wathan, yaitu KH. Abdul Wahab Chasbullah. Di bawah bimbingan ayah tirinya itulah Sjaichu berkembang menjadi pemuda yang menonjol. Kepemimpinannya mulai tumbuh.
Sekolah sambil bekerja seolah-olah menjadi pola hidup pemuda Sjaichu. Setamat dari Nadlatul Wathan, Sjaichu kembali bekerja di bengkel Marina milik Angkatan Laut. Selama bekerja dibengkel itu, ia melakukan kegiatan dakwah di lingkungan kawan-kawan sekerja.
Setahun kemudian, 1938, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengirimkan Sjaichu ke Pesantren Al-Hidayah, Lasem asuhan KH. Ma'shum. Selama di pesantren ini, pemuda Sjaichu menjadi santri kesayangan Mbah Ma'shum. Sesudah 3 tahun belajar di Lasem, Sjaichu terpaksa harus boyong ke Surabaya, karena ia terserang penyakit tipes (typus) yang cukup serius.
Pada tanggal 5 Januari 1945, pada usia 24 tahun, Sjaichu mempersunting Solchah, putri Mohamad Yasin, penjahit kondang asal Pacar Keling yang pernah menjadi majikannya. Sesudah berkeluarga, ia membuka home industry sepatu di rumahnya, dengan 15 orang karyawan. Sjaichu sendiri yang memasarkan ke seantero Surabaya. Sambil berdagang, ia juga aktif mengajar bahasa Arab dan Inggris kepada beberapa pemuda yang sering datang ke rumahnya. Dari Ny. Solchah, KH. Achmad Sjaichu dikaruniai 10 putra-putri, 2 diantaranya meninggal ketika masih bayi. Kedelapan putra-putri yang ada, yaitu Ny. Mariyam Chairiyah, Imam Susanto, Mohamad Sucahyo, Zainul Mujahidin, Rachmawati, Zubaidah, Faridah, dan Achmad Fauzi.
Ketika terjadi penyerbuan tentara sekutu ke kota Surabaya, ia bersama istrinya mengungsi ke Bangil. Pada tahun 1948, sesudah Surabaya kembali aman, ia pulang ke kota kelahirannya. Mulailah ia terjun sebagai sebagai pengajar di Madrasah NU. Di samping mengajar, ia juga menjadi ketua ranting NU Karang Menjangan. Itulah awal mula Sjaichu mulai terlibat di organisasi NU. Pada kepengurusan NU cabang Surabaya periode 1948-1950, ia ditunjuk sebagai salah satu ketua Dewan Pimpinan Umum (Tanfidziyah), bersama KH. Thohir Bakri, KH. Thohir Syamsuddin dan KH. A. Fattah Yasin. Karier sjaichu di organisasi terus menanjak dengan cepat. Pada tahun 1952, ia diangkat menjadi Ketua Fraksi Masyumi di DPRDS Kota Besar Surabaya.
Awal tahun 1950-an ia mendaftarkan diri menjadi pegawai pemerintah dan bekerja di Kantor Pengadilan Agama Surabaya dan kemudian berhasil menduduki jabatan sebagai Wakil Kepala. Baru setahun di Pengadilan Agama, ia pindah ke Kantor Agama Kotapraja Surabaya.
Pada tahun 1953, Sjaichu terpilih menjadi ketua LAPANU (Lajnah Pemilihan Umum NU) daerah pemilihan Jawa Timur. Dan pada pemilu 1955, ia diangkat menjadi anggota DPR dari Fraksi NU, dan pada tanggal 25 November 1958 ia ditunjuk sebagai Ketua Fraksi NU. Dalam kurun waktu 15 tahun sejak ia menjadi anggota DPRDS di Surabaya, akhirnya KH. Achmad Sjaichu mencapai puncak karier di gelanggang politik, dengan menjadi Ketua DPRGR pada tahun 1966. Di NU sendiri KH. Achmad Sjaichu pernah menjadi salah seorang ketua PBNU, sampai tahun 1979 (ketika berlangsung Muktamar NU di Semarang).
Kepemimpinan dan ketokohan KH. Achmad Sjaichu tidak hanya diakui secara nasional, melainkan juga sampai ke level internasional. Pengakuan itu terbukti dengan dipilihnya KH. Achmad Sjaichu sebagai presiden Dewan Pusat Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) dalam konferensinya yang pertama di Bandung, tanggal 6-14 Maret 1965. KH. Achmad Sjaichu yang di kenal sebagai pengagum Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser itu berhasil mengembangkan misi dakwah Islamiyah dan misi perjuangan bangsa Indonesia dalam pentas politik internasional.
Sekian lama KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia politik, tak menyurutkan perhatian dan minatnya dalam dunia dakwah Islamiyah. Malahan semangat mengembangkan dakwah Islamiyah itulah yang dijadikan motivasi dalam keterlibatannya di pentas politik. Pada tanggal 27 Ramadhan 1398 H, atau bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 1978, KH. Achmad Sjaichu mendirikan organisasi yang bergerak dalam bidang dakwah, yaitu Ittihadul Muballighin. Lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkan KH. Achmad Sjaichu menuju terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia dakwah dan pesantren. Dan Pesantren Al-Hamidiyah yang kini berdiri cukup megah di daerah Depok, merupakan saksi bisu yang menunjukkan betapa besar dan luhurnya cita-cita yang dikandung KH. Achmad Sjaichu. Dari pesantren juga berakhir di pesantren .

No comments:

Post a Comment