Di ambil dari sebahagian tulisan Teungku H. Muhammad Daud Zamzami
Berikut ini kita akan membahas metode al-Asy`arîyah dalam hal mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya.
I. Sifat yang Wajib
1. Al-Wujûd
Allah itu ada, wujud-Nya tidak ada permulaan dan tidak ada penghabisan. Sebelum ada alam ini Allah telah ada. Pada waktu alam ada, Allah telah dalam keadaan wujud, dan pada saat alam ini nanti tidak ada lagi, Allah tetap dalam keadaan ada. Wujud Allah itu tidak sama dengan wujud yang ada pada alam ini. Contohnya manusia dan hewan, pada awalnya tidak ada, kemudian melalui proses tertentu, dan dalam waktu tertentu lahir di alam ini, setelah itu dalam jangka waktu tertentu akan kembali kepada fanâ’/tidak ada, seperti sebelum ada. Oleh karenanya alam dan semua isinya tetap bersifat baharu, dan karena sifat alam itu baharu, maka alam itu selalu menuntut kepada penciptanya, yang memeliharanya sesudah ada dan yang akan memusnah-kannya nanti.
Di sinilah antara lain terdapat perbedaan antara wujud Allah dan wujud yang ada pada makhluk atau alam semesta. Namanya sama akan tetapi hakikatnya tidak sama, wujud Allah bersifat wajib dan wujud yang ada pada alam baharu. Atas dasar kenyataan seperti tersebut di atas merupakan bukti yang jelas bahwa wujud alam ini adalah bukti (dalil) atas wujud Allah.
Perbedaan antara Allah sebagai pencipta alam dan semua isinya dengan yang diciptakan cukup jelas bagi orang-orang yang mempunyai pikiran yang jernih. Menyangkut dengan wujud, Allah berfirman:
Artinya: Memberi tahu/menyatakan/menghukum oleh Allah bahwa sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Dia(Allah). Dan mengaku oleh malaikat dan yang mempunyai ilmu(bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah) sebagai pengakuan yang adil, tiada yang berhak disembah kecuali Allah yang sangat berkuasa dan bijaksana.
2. Al-Qidam
Qidam adalah wujud yang tiada permulaan, artinya wujud Allah itu tidak didahului oleh `adam (tiada). Sebelum ada sesuatu kecuali Allah, Allah itu telah ada. Wujud Allah tidak terkait dengan zaman, sebab zaman itu ciptaan Allah, sebelum wujud zaman, Allah telah wujud . Wujud Allah tidak terkait dengan tempat, artinya wujud Allah tidak berada dalam tempat, sebab Allah tidak berada dalam tempat dan tidak berada dalam zaman. Inilah salah satu makna yang terkandung dalam firman Allah ayat 11 surat asy-Syûrâ yaitu:
Artinya: (Dia) pencipta langit dan bumi, menjadikan bagi kamu berasal dari diri kamu sendiri pasangan, dan dari jenis binatang pasangan, dijadikannya berkembang biak, tiada sesuatu pun serupa dengan Dia (Allah) dan Dia (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Perbedaan Allah dengan sesuatu yang telah terjadi atau belum terjadi adalah termasuk tidak serupa pada zat Allah. Zat Allah itu tunggal yaitu tidak tersusun, dari berbagai benda, sedangkan zat alam semuanya tersusun, dan paling kurang tersusun dari dua benda. Wujud Allah tidak didahului oleh ‘adam (tidak ada), sedangkan zat makhluk itu baharu, yaitu pada permulaannya tiada wujud, kemudian baru datang wujud. Wujud Allah tidak berada dalam zaman dan tempat, sedangkan wujud alam contohnya manusia, batu, gerak dan tetap berada dalam zaman dan berada dalam tempat.
Para ulama kalam (tauhid) menetapkan bahwa bukti atau dalil terhadap wujud Allah, wujud-Nya itu bersifat wâjib dan wujud-Nya bersifat qidam, adalah kenyataan yang terdapat pada sebahagian alam yang dapat dilihat dengan mata kepala manusia yaitu sifatnya selalu berubah-ubah (baharu).
3. Al-Baqâ’
Al-Baqâ’ adalah wujud yang tiada diiringi dengan tiada, artinya berkekalan wujud pada masa yang akan datang dalam bentuk yang tiada penghabisan. Al-Baqâ’ Allah adalah wujudnya tidak datang `adam selama-lamanya. Wujud Allah tidak sama dengan wujud yang terdapat pada alam ini. Contohnya wujud kayu, wujud manusia, wujud pesawat udara, semua wujud yang terdapat pada benda-benda tersebut dimulai dari tidak ada dan diakhiri dengan kembali kepada tidak ada, akan tetapi wujud yang berada sebagai sifat yang wajib pada Allah tidak diakhiri dengan `adam (tidak ada).
Mengapa wujud Allah itu wajib baqâ’ (berkekalan)? Pertama; apabila wujud Allah diakhiri dengan `adam, maka Allah itu baharu (berubah-ubah), apabila Allah baharu, maka Allah butuh kepada yang menjadikannya, atau butuh kepada yang meniadakannya. Kedua; apabila hal tersebut terjadi maka semua benda yang ada dalam alam ini termasuk manusia tidak ada, sebab kekuatan qudrah Allah sudah sama dengan qudrah makhluk. Apabila terdapat dua kekuatan yang sama pasti tidak terjadi sesuatu, sebab satu ingin menjadikan dan yang satu lagi ingin memusnahkan. Kenyataan yang kita lihat bahwa alam ini berdiri dengan kokoh dan tersusun dengan rapi, ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada penciptanya yang tidak sama dengan benda hasil ciptaannya.
Sesuai dengan uraian tersebut Allah berfirman pada surat Ar-Rahmân ayat 26-27:
Artinya: Semua yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Zat (Allah) Tuhan kamu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
4. Mukhâlifatuhu Lil Hawâdits
Mukhâlifatuhu Lil Hawâdits adalah perbedaan Allah dengan semua benda, baik yang telah ada atau yang akan ada. Perbedaan Allah dengan hawâdits (baharu) adalah dalam tiga hal:
1). Perbedaan pada zat, yaitu zat Allah tidak sama dengan zat makhluk. Zat Allah hanya satu; yaitu tidak tersusun/dirangkap dari dua benda atau lebih, tidak terdiri atas berbagai macam anggota, seperti kepala, tangan, kaki dan lainnya. Zat Allah wâjib wujûd, wâjib qidam dan baqâ’, tidak ada suatu benda apapun yang sama dengan zat Allah, semua benda yang terbayang dalam akal manusia itu adalah makhlûq bukan khâliq/Allah. Sebab semua yang terpikir oleh pikiran manusia itu diperoleh melalui saluran penglihatan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, perasaan lidah dan perasaan sentuhan kulit. Kelima pancaindera itu adalah makhluk, penangkapannya selalu berubah-ubah, maka sesuatu yang diketahui melaluinya selalu berubah-ubah. Apabila berubah-ubah, maka hasil yang diperoleh pasti berubah-ubah pula, artinya tidak ada kepastian. Ayat asy-Syûrâ ayat 11 secara tegas menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan makhlûq/hawâdits ditinjau dari segala sudut, termasuk sudut zatnya.
2). Perbedaan pada sifat. Adapun perbedaan Allah dengan makhluk tentang sifat, adalah sifat yang berada pada makhluk itu semuanya mengalami perubahan. Contohnya, sifat yang terdapat di waktu usia masih kecil berbeda dengan sifat yang berada di waktu muda yaitu kekuatan fisik dan daya pikirnya selalu berubah menuju kesempur-naan sampai usia tiga puluh lima tahun kemudian kembali menurun sedikit demi sedikit sampai tidak ada tenaga sama sekali. Banyak contoh-contoh lain yang selalu berubah, baik yang terdapat pada manusia atau lainnya. Berbeda dengan sifat Allah, yaitu sifat-Nya qadim dan baqâ’ dan tetap ada pada Allah, tidak mengalami perubahan. Tentang perbedaan antara sifat Allah dengan sifat makhluk akan lebih jelas nanti dalam pembahasan sifat Allah satu-persatu.
3). Perbedaan sifat af`âl (perbuatan). Sifat af’âl atau perbuatan dalam pembahasan ilmu tauhid disebut dengan nama sifat takwîn. Sifat takwîn adalah salah satu sifat yang wajib ada pada Allah, para ulama tauhid pada umumnya tidak membahasnya sendirian, akan tetapi membahas dan menyebutnya tatkala membahas sifat Mukhâlifatuhu Lil Hawâdits, yaitu dalam pembahasan perbedaan Allah dengan benda-benda yang terdapat dalam alam ini.
Perbedaan lainnya pada sifat af’âl adalah perbuatan manusia harus melalui beberapa tingkatan, pertama adanya kekuatan pada tubuh manusia, kedua ada kemauan, ketiga ada pengetahuan (ilmu). Dengan ilmu itu diketahui bahwa pada akhir perbuatan ia akan mendapat kesenangan atau kesusahan, sesudah terdapat tiga unsur tersebut baru suatu perbuatan dapat terjadi. Pada hakikatnya, mengetahui ada kesenangan atau kesusahan adalah pendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi perbuatan Allah tidak melalui tiga tingkatan sebagaimana yang terdapat pada pekerjaan manusia. Perbuatan Allah tidak didorong oleh pengambilan manfaat bagi-Nya dan tidak didorong oleh penolakan mudharat daripadanya. Allah tidak mendapat keuntungan apapun dalam perbuatan yang dikerjakan-Nya, semua manfaat dan keuntungan itu kembali kepada hamba-Nya.
Perbedaan di pihak lain, bahwa Allah dalam menciptakan sesuatu tidak membutuhkan peralatan sebagai pembantu-Nya, tidak membutuhkan material atau bahan baku yang telah tersedia sebagai bahan yang akan disusun dalam benda yang dikerjakan-Nya dan tidak membutuhkan jangka waktu dalam penyelesaian pekerjaan-Nya. Semua bahan baku bagi sesuatu benda yang akan dijadikannya itu sekaligus diciptakan, dijadikan dan tidak membutuhkan waktu sedikitpun. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Yâsin ayat 81-82:
Artinya: Tidakkah Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi itu mampu menciptakan (jasad-jasad) yang sama dengan mereka, benar, Dialah pencipta, lagi Maha mengetahui.(81) Sesungguhnya pekerjaan-Nya apabila Dia menghendaki (menjadi) sesuatu, Dia berkata baginya “jadilah kamu”, maka terjadilah ia (benda itu).
Kejadian gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam yang merenggut 200.000 (dua ratus ribu) lebih jiwa manusia, merusak rumah serta bangunan yang kokoh dan merusak kebun dan lainnya, merupakan bukti nyata bahwa kerja Allah tidak sama dengan kerja manusia.
5. Qiyâmuhu bi Nafsihi
Qiyâmuhu bi Nafsihi artinya Allah itu berdiri sendiri. Allah tidak membutuhkan kepada tempat untuk berdiri, sebab; pertama bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam ini, termasuk tempat adalah benda yang datang wujudnya setelah didahului oleh tiada. Sedangkan Allah itu telah ada sebelum ada tempat tersebut. Kedua, bahwa yang membutuhkan kepada tempat adalah sifat, seperti gerak, tetap, hitam, putih, dan semua benda yang tidak terbayang dalam pikiran manusia, adanya tanpa bertempat berdirinya. Sedangkan Allah adalah zat, bukan sifat, Allah bersifat qadim dan baqâ’. Sifat adalah baharu, oleh karenanya, berdiri Allah itu tidak sama dengan berdiri yang berada pada makhluk ini, yaitu berdirinya tidak di atas tempat.
Dengan kata lain wujud Allah tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun, sebagaimana terkandung dalam firman-Nya dalam surat al-Ikhlâsh:
Artinya: Katakanlah, Dia (Tuhan) itu Allah yang Maha Esa, Allah adalah yang bergantung kepada-Nya semuanya, Allah itu tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun setara dengan-Nya.
Ayat pertama menunjukkan bahwa yang berhak disembah hanya Allah, dan Allah itu Esa pada zat-Nya, Esa pada sifat-Nya dan Esa pada af`âl-Nya (Perbuatan-Nya). Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah dibutuhkan oleh semua, baik manusia atau lainnya. Ayat ketiga menunjukkan bahwa Allah itu tidak beranak, artinya tiada sesuatu yang terjadi keluar dari zat Allah, baik melalui peranakan, melalui `ilat (dengan ada zat Allah langsung terjadi alam ini tanpa qudrah dan perbuatan-Nya) atau tiada sesuatu yang terjadi dalam alam ini melalui thabi`at (pembawaan yang telah tertanam dalam zat). Sedangkan ayat keempat menunjukkan bahwa tiada sesuatu apapun baik manusia atau lainnya yang setara derajatnya dan kekuasaannya dengan Allah.
Pengertian lain tentang Qiyâmuhu bi Nafsihi, adalah Allah tidak membutuhkan kepada pihak lain yang menjadikannya, dan tidak membutuhkan kepada yang memelihara dan melindungi-Nya sesudah wujud-Nya. Hal tersebut terdapat perbedaan dengan manusia dan lainnya. Semuanya itu membutuhkan kepada yang menjadikannya sebelum wujud, dan membutuhkan kepada pemeliharaan serta perlindungan sesudah wujudnya.
6. Al-Wahdanîyah
Al-Wahdanîyah (Esa Allah) terdiri atas tiga hal. Pertama, zat Allah tiada tersusun dari dua komponen atau lebih. Hal ini dinamai Esa Allah pada zat-Nya. Kedua, tiada terdapat dan tiada mungkin ada seseorang atau benda yang sama dengan Allah pada zat-Nya atau pada satu sifat di antara sifat-sifat yang wajib pada-Nya. Ketiga, tunggal Allah dalam menjadikan sesuatu benda dan menjadikan semua barang dalam alam ini dan tunggal Allah dalam menjadikan sesuatu dengan sempurna. Pekerjaan Allah tidak membutuhkan bantuan peralatan dan tidak membutuhkan gerak atau tetap, tidak ada yang dapat memberikan bekas dan menghasilkan sesuatu perbuatan dalam bentuk apapun kecuali Allah.
Dalam kaitan dengan tiga keesaan tersebut, Allah berfirman dalam surat al-Qamar ayat 49:
Artinya: Sesungguhnya kami menciptakan segala benda dengan qudrah(kemampuan kami).
Ayat ini menunjukkan bahwa qudrah Allah itu ta`lûq (masuk) kepada seluruh benda yang telah ada atau yang akan ada, termasuk benda-benda yang secara lahir hasil usaha manusia, tidak terjadi sesuatu apabila tidak dijadikan oleh Allah. Contoh; pembakaran yang ada pada api, pembakaran itu tidak terjadi terhadap kayu kering, apabila pembakaran tidak dijadikan oleh Allah, kekuatan yang terdapat pada manusia, bagaimanapun manusia itu berusaha, hasilnya tidak terdapat apabila Allah menghendaki lainnya. Allah berkata dalam surat Al-Baqarah ayat 107 :
Artinya: Tidakkah kamu mengetahui bahwa langit dan bumi adalah kepunyaan Allah, dan tiada bagimu pelindung dan penolong selain Allah .
Yang dimaksud dengan milik adalah kekuasaan terhadap langit dan bumi dan barang dalam keduanya, tidak Allah berkuasa penuh terhadap keduanya (langit dan bumi) serta isi keduanya kecuali apabila Allah tunggal pada menjadikannya. Allah berkata dalam surat Ash-Shafat ayat 96 :
Artinya: Allah yang menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.
Manusia dan semua barang yang dikerjakannya adalah semuanya ciptaan Allah. Semua barang yang lahirnya merupakan ciptaan manusia, pada hakikatnya adalah ciptaan Allah. Sebagai contoh, tangan manusia itu tidak bergerak dan tidak tetap apabila Allah tidak menghendakinya. Semua barang hasil kerja manusia itu adalah tersusun/terangkap dari benda-benda yang telah dijadikan Allah. Oleh karenanya, maka ke-Esa-an Allah dalam tiga sudut seperti tersebut di atas, wajib dalam pandangan akal sehat.
Pada manusia terdapat usaha yaitu; muqâranah qudrah hadîtsah yang berada pada manusia dengan suatu perbuatannya. Muqâranah itu dinamakan usaha. Usahanya itu tidak memberi bekas pada kejadian sesuatu, akan tetapi yang terdapat dari usaha manusia itu merupakan ciptaan Allah. Untuk membenarkan bahwa usaha manusia itu tidak memberikan hasil bekasan bahwa manusia berusaha dengan sungguh-sungguh agar memperoleh rezki yang banyak, yang dihasilkan rezki yang sedikit. Berusaha untuk mendapat sembuh dari penyakit yang sedang dideritanya, yang terjadi lebih parah lagi, dan berusaha dengan sungguh-sungguh agar memperoleh ilmu yang banyak, akan tetapi yang diperoleh sebaliknya.
Dalam kaitan tersebut, bukan berarti bahwa manusia itu terpaksa, artinya apa yang terjadi pada pekerjaan manusia tidak ada usaha sama sekali, seperti yang dipahami oleh kelompok Jabbârîyah. Jabbârîyah memahami bahwa pekerjaan manusia terpaksa, sama seperti keadaan kapas yang ditiup oleh angin ke mana saja. Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah tidak sama dengan pemahaman yang dianut oleh Mu`tazilah dan tidak sama dengan yang dianut oleh kelompok Jabbârîyah, akan tetapi berada antara keduanya.
Enam sifat yang wajib ada pada Allah, sebagaimana tersebut di atas yang pertama yaitu wujûd, dinamakan sifat Nafsîyah, dan lima sesudahnya dinamakan sifat Salbîyah, artinya yang menunjuki kepada sesuatu yang tidak terdapat dan tidak patut ada pada Allah.
7. Al-Qudrah
Qudrah adalah sifat yang memberi bekas pada menjadikan barang yang mungkin terjadi dan meniadakan barang yang telah ada, dan mungkin tiada lagi. Fungsi qudrah adalah menjadikan sesuatu barang yang mungkin terjadi dan meniadakan barang yang telah ada dan barang yang mungkin kembali kepada tiada lagi. Qudrah tidak ta`lûq (berfungsi) terhadap yang wajib ada menurut pandangan akal sehat. Contohnya wujud Allah dan wujud sifat-sifat yang wajib ada pada Allah. Allah tidak menjadi diri-Nya dan tidak menjadikan sifat yang wajib pada-Nya. Qudrah tidak ta`lûq (berfungsi) terhadap yang mustahil wujud, contohnya terjadi gerak dan tetap suatu barang dalam waktu yang bersamaan, tidak terdapat keduanya pada benda dalam waktu yang bersamaan.
Menurut pandangan (akidah) kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah, bahwa semua barang yang wujudnya bersifat mumkîn (bukan wajib dan bukan mustahil) baik barang itu telah ada atau akan ada, adalah ciptaan Allah. Artinya tempat ta`lûq qudrah Allah termasuk barang-barang yang secara lahir merupakan ciptaan manusia, atau terjadinya melalui thabi`at sesuatu benda, seperti pembakaran yang terjadi pada api, tumbuh dan hidup tumbuh-tumbuhan melalui air hujan. Selain itu qudrah juga ta`lûq pada benda yang geraknya melalui `illat, seperti gerak cincin yang berada pada jari manis. Secara lahiriah geraknya terjadi disebabkan oleh gerak jari manis, padahal kesemuanya itu pada hakikatnya tidak terjadi apabila tidak dijadikan oleh Allah. Artinya semua benda yang sifatnya hawâdits merupakan ciptaan Allah. Allah berkata dalam surat Ash-Shafat ayat 96 :
Artinya: Allah yang menjadikan kamu dan barang yang kamu kerjakan.
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa barang-barang hasil usaha manusia adalah ciptaan Allah, demikian juga dalam surat ar-Rûm ayat 22 berikut:
Artinya: Sebahagian tanda-tanda-Nya adalah menciptakan langit dan bumi dan perbedaan bahasa, dan perbedaan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu beberapa bukti bagi manusia (yang berakal).
8. Irâdah:
Irâdah adalah sifat yang menetapkan (menentukan) terjadi satu antara dua kemungkinan yang berlawanan. Ada enam hal yang selalu berlawanan; pertama, wujûd berlawanan dengan ‘adam. Kedua, beberapa sifat, seperti, putih berlawanan dengan hitam, merah, hijau, kuning, biru dan lainnya, begitu juga sebaliknya. Ketiga, zaman: contohnya zaman sekarang, berlawanan dengan zaman yang telah lalu dan berlawanan dengan zaman yang akan datang. Keempat, tempat; apabila sesuatu benda telah bertempat pada satu tempat tertentu, maka benda itu tidak bertempat pada tempat lainnya. Kelima, pihak (posisi), seperti atas, bawah, kiri, kanan, depan dan belakang. Keenam, ukuran (kadar), seperti besar, kecil, panjang, pendek, lebar, kadar sukatan, kadar timbangan dan lainnya.
Irâdah berfungsi untuk menentukan sesuatu benda yang berada dalam sifat tertentu, seperti wujud atau tiada wujud. Wujudnya bertempat di Makkah atau tempat lainnya, waktu wujudnya satu Ramadhan 1427 Hijriyah atau sebelum atau sesudahnya, wujudnya berada di atas loteng rumah atau di bawahnya, ukurannya panjang dua meter atau lebih atau kurang dari itu, besarnya 50 centimeter atau lebih atau kurang, beratnya 100 kilogram atau lebih atau kurang, dan warnanya putih atau lainnya. Maka irâdah-lah yang menentukan bahwa barang itu wujud tempatnya di Makkah, waktu wujudnya satu Ramadhan 1427 Hijriyah, bertempat di atas loteng rumah, ukuran panjangnya dua meter, ukuran besarnya 50 centimeter, ukuran beratnya 100 kilogram, dan warnanya putih.
Adapun sifat qudrah berfungsi sesuai dengan ketentuan irâdah dan sesuai dengan `ilm. Maka qudrah dan irâdah tempat ta`lûq-nya yaitu, seluruh benda yang sifatnya mungkin, akan tetapi posisinya berbeda. Irâdah sebagai yang mengkhususkan dengan salah satu mumkîn, sedangkan qudrah menjadikannya sesuai dengan ketentuan irâdah dan `ilm.
Qudrah dan irâdah tidak ta`lûq (berfungsi) pada barang yang wajib wujud dan pada barang yang mustahil wujud, maka Allah tidak menjadikan zat-Nya sendiri. Sebab zat-Nya wajib wujud, dan Allah tidak menjadikan anak-Nya, sebab beranak bagi Allah adalah barang mustahil wujudnya.
Tidak ta`lûq-nya qudrah dan iradah Allah pada yang wajib wujud, dan yang mustahil wujud, tidak berarti Allah itu lemah. Lemah apabila ada sesuatu yang mumkîn wujud, akan tetapi qudrah dan irâdah Allah tidak berfungsi pada-Nya. Paham bahwa qudrah dan irâdah ta`lûq pada seluruh mumkinât, tidak ada pengecualian dan tidak ta`lûq pada yang wajib wujud dan tidak ta`lûq pada yang mustahil wujud merupakan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Adapun paham yang dianut oleh kelompok Mu`tazilah adalah :
1. Tidak semua mumkîn ciptaan Allah, akan tetapi sebahagiannya adalah ciptaan manusia yaitu sesuatu yang berhasil dengan usaha manusia sendiri.
2. Allah tidak bersifat dengan `ilm, qudrah, irâdah dan hayah artinya empat sifat itu tidak ada pada Allah.
3. Irâdah Allah wajib sejalan dengan perintah. Artinya irâdah mengikuti perintah dan Allah tidak menciptakan sesuatu yang tidak disuruhnya. Menurut pandangan Mu`tazilah, iman Abû Jahal di-irâdah Allah akan tetapi tidak terwujud. Kufur Abû Jahal tidak dikehendaki oleh Allah, akan tetapi ini terjadi.
4. Allah mampu menjadikan anak-Nya sendiri, mereka beralasan, bila Allah tidak mampu menjadi anak-Nya, maka Allah itu lemah.
Dalam empat hal di atas terdapat perbedaan antara akidah yang dianut Ahlussunnah Wal Jamaah dengan yang dianut oleh Mu`tazilah. Ada pun perbedaan lain akan disebut pada bagian akhir, yaitu pada pembahasan khusus mengenai Mu`tazilah.
9. Al-`Ilm
‘Ilm adalah sifat yang dengannya nyata bagi Allah segala sesuatu, baik sesuatu itu wajib, mustahil atau harus (jâ’iz). Segala sesuatu diketahui oleh Allah secara detil, Allah mengetahui semua yang telah terjadi, belum terjadi, tempat terjadi, masa terjadi, bentuk kejadian, jangka waktu terjadi, besar atau kecilnya sesuatu yang terjadi. Allah mengetahui sesuatu yang tidak akan terjadi, disebabkan mustahil terjadi, atau mungkin terjadi, tetapi dalam ilmu Allah ia tidak akan terjadi. Allah mengetahui setiap sesuatu yang wajib terjadi, seperti zat-Nya, dan segala sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya, tidak ada suatu benda apapun yang tidak diketahui oleh Allah.
`Ilm Allah tidak sama dengan ilmu yang dimiliki oleh manusia, perbedaannya antara lain :
1. Allah mengetahui sesuatu secara pasti, tidak ada perbedaan antara kejadian dengan yang diketahui-Nya, sedangkan ilmu manusia itu berada dalam tingkatan tidak pasti, banyak fakta yang menunjukkan adanya perbedaan ilmu manusia dengan kenyataan.
2. Ilmu Allah itu meliputi lahir dan bathin, meliputi luar dan dalam, meliputi sesuatu yang telah terjadi dan segala sesuatu yang mungkin terjadi, baik ia akan terjadi atau tidak akan terjadi. Allah mengetahui setiap rincian sesuatu termasuk bagian-bagiannya. Sementara itu ilmu manusia hanya meliputi lahiriyah sesuatu, dan hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah terjadi saja. Adapun barang yang belum terjadi atau tidak berada dalam jangkauan manusia terutama barang itu tidak terdapat tanda-tanda kejadiannya dan tidak terjangkau akal manusia, atau barang itu bertentangan dengan akal pikiran yang dimiliki manusia atau barang-barang itu tidak sejalan dengan pancaindera yang lima yang telah berada pada diri manusia yaitu: penglihatan, pendengaran, ciuman, perasaan lidah dan perasaan sentuhan, maka benda-benda itu tidak diketahui manusia. Bahkan terjadi penolakannya, tidak semua yang telah terjadi terjangkau dalam pengetahuan manusia.
3. Sesuatu yang diketahui Allah telah terjadi atau akan terjadi dalam tempat tertentu atau dalam zaman tertentu pasti barang itu terjadi sesuai dengan ilmu-Nya, sedikitpun tidak akan berubah. Akan tetapi barang-barang yang terdapat dalam pengetahuan manusia selalu tidak berada dalam tingkatan kepastian, dan mengalami perubahan. Allah berfirman dalam surat Yâsin ayat 79 :
Artinya: Katakanlah, bahwa tulang itu telah dihidupkannya oleh yang menciptakannya pada awal kejadian. Dia-Nya (Allah) maha mengetahui semua makhluk.
4. Tingkatan pengetahuan manusia paling tinggi tingkatan keyakinan dan keyakinan yang dimilikinya masih mungkin ada perubahan, sebab ilmu manusia didasari petunjuk dalil, kuat dalil, maka kuat ilmu; lemah dalil maka keyakinannya juga lemah dan berubah dalil, maka keyakinannya juga berubah.
Ilmu Allah tidak berpijak atas dalil apapun, karena Allah yang menciptakan sesuatu termasuk dalilnya, ilmu Allah tidak didahului jahil, sedangkan ilmu manusia didahului oleh jahil. Ilmu Allah bersifat qadim dan baqâ’, sedangkan ilmu manusia bersifat hawâdîts (baharu) dan bisa hilang sesudah adanya.
10. Al-Hayâh
Hayâh adalah sifat yang wajib ada pada Allah. Sifat hayâh tidak ta`lûq kepada sesuatu, baik wajib, mustahil atau harus. Dalam pandangan akal sehat, apabila Allah wajib bersifat dengan qudrah, irâdah, `ilm, sam`, bashr dan kalâm, maka sifat hayâh wajib ada pula, sebab enam sifat itu tidak diterima akal bertempat pada orang mati, `ilm, irâdah, qudrah dan sebagainya tidak terdapat pada orang yang tiada hayâh padanya.
11. As-Sam`
As-sam’ (mendengar) adalah sifat yang wajib pada Allah, mendengar Allah tidak sama dengan mendengar yang ada pada manusia, perbedaannya antara lain :
1. Allah mendengar tiap-tiap yang ada, baik yang bersuara atau yang tidak bersuara, sedangkan manusia hanya dapat mendengar suara, yang bukan suara tidak dapat didengarnya, dan tidak semua suara didengar manusia, sebab syarat dengar manusia berada dalam radius tertentu.
2. Pendengaran Allah tidak dapat dihalangi oleh penghalang apapun, sedangkan pendengaran manusia dapat dihalangi oleh kejauhan, keributan, terlampau kecil suara dan manusia tidak mendengar di waktu tidur atau pingsan.
3. Sifat Mendengar Allah tidak bertempat dalam suatu zaman, sebab sebelum terdapat zaman dengar Allah telah ada, sedangkan pendengaran manusia seiringan dengan zaman, dan berada dalam suatu zaman tertentu dan terpecah-pecah dalam perjalanan zaman.
4. Dengar Allah bersifat qadim dan baqâ’, sebelum dan sesudah terwujud sesuatu, dengar Allah tetap ada, sedangkan pendengaran manusia itu bersifat baharu, ada masa datang dan ada masa hilangnya.
12. Al-Bashr
Al-Bashr (penglihatan) adalah sifat yang wajib ada pada Allah. Allah dengan sifat al-Bashr, melihat semua barang-barang yang ada baik barang itu berada dalam bentuk rupa atau tidak, barang besar atau kecil, barang itu tersimpan dalam tempat yang sangat tersembunyi sekalipun, Allah melihatnya. Allah dapat melihat apa yang terlintas dalam hati manusia, tidak terdapat benda apapun yang tidak dapat dilihat oleh Allah, tidak tersembunyi atasnya apapun. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 5 :
Artinya: Sesungguhnya bagi Allah tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.
Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 103:
Artinya: Tidak dapat dilihat-Nya(Allah) oleh penglihatan mata, Dia(Allah) melihat segala penglihatan dan Dialah yang Maha lemah lembut dan Maha Mengetahui.
Allah dapat melihat penglihatan manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihat penglihatan manusia karena terhambat oleh kejauhan. Allah melihat sesuatu benda lahir dan bathinnya. Allah melihat segala keadaan terinci yang meliputi seluruh bagian benda yang dilihat-Nya. Penglihatan Allah terhadap sesuatu benda meliputi seluruh sisi penglihatan yang merupakan sifat-Nya dan sifat melihat yang ada pada manusia namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda.
13. Al-Kalâm
Kalâm Allah adalah sifat yang wajib ada pada Allah. Sifat itu berada pada zat Allah tidak didahului oleh tidak ada dan tidak disudahi oleh tidak ada (azalîyah). Kalâm Allah tidak mempunyai huruf dan tidak mempunyai suara, kalâm Allah tidak ada yang terakhir. Kalâm Allah tidak terpecah-pecah dalam huruf dan kalimat. Kalam Allah hanya satu dan tidak banyak, Kalâm Allah menunjuki kepada semua yang diketahui-Nya, meliputi sesuatu yang wajib ada, sesuatu yang mustahil ada dan sesuatu yang boleh (jâ’iz) adanya. Yang banyak tempat-tempat yang ta`lûq kalâm Allah padanya yaitu barang ditunjuk kalâm Allah.
Kalâm Allah ada tiga makna, ketiga-tiganya merupakan makna hakikat:
1. Sifat yang berada pada zat Allah, sifat itu tidak ada huruf dan suara, tidak datang dan tidak hilang, tidak terdahulu dan terakhir, dan tidak tersusun dari huruf dan kalimat.
2. Lafazh yang tersusun dan melemahkan ahli balâghah dari membuat tandingannya (mu`jîz) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Buku yang ditulis di dalamnya lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Ketiga-tiganya itu disebut kalâmullâh dan al-Quran. Kalâmullâh (lafazh) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis dalam mushhaf al-Quran adalah perlambangan dari apa yang ditunjuk oleh kalâm Allah. Kalâm yang bermakna sifat yang berdiri pada zat Allah. Sesuatu yang menunjukkan berbeda dengan apa yang ditunjukinya.
Al-Quran atau kalâmullâh yang bermakna sifat Allah hanya satu, tidak mempunyai huruf dan suara, sedangkan al-Quran atau kalâm Allah yang bermakna dan berlafazh yang diturunkan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis dalam mushhaf mempunyai huruf dan suara, terbagi dalam kalimat, kalam dan huruf dan ia merupakan makhlûq.
Al-Quran dan kalâm Allah ada dua makna yang hakikat: pertama, sifat Allah yang azalîyah dan bukan makhlûq, dan yang kedua, bermakna lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang berfungsi sebagai mu`jîzât. Lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah makhlûq, namun tidak boleh dikatakan bahwa al-Quran itu makhlûq, hanya yang boleh dikatakan adalah bahwa al-Quran itu kalâmullâh, bukan makhlûq. Apabila al-Quran dikatakan makhlûq, maka akibatnya akan terbayang dalam pikiran orang awam bahwa sifat yang berada pada Allah yang bernama al-Quran adalah makhlûq. Keyakinan bahwa sifat Allah itu makhlûq salah dan sangat berbahaya dalam akidah Islam.
Uraian tentang sifat qudrah, irâdah, `ilm, hayâh, sam`, bashr dan kalâm di atas adalah akidah menurut pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah. Adapun kelompok Mu`tazilah mengatakan:
1. Sifat qudrah, irâdah, `ilm, hayâh, sam`, bashr dan kalâm tidak ada pada Allah (Fakhrur Râzî, 124;I).
2. Manusia mampu menciptakan sebahagian hawâdits, artinya ada sebahagian hawâdits yang bukan ciptaan Allah. (Fakhrur Râzî, 98; I)
3. Irâdah Allah wajib mengikuti (sejalan dan sesuai) dengan perintah-Nya. Artinya yang dikehendak oleh Allah hanya sesuatu yang telah diperintahkan-Nya. Adapun sesuatu yang dilarang-Nya, terjadinya tidak dikehendaki-Nya, meskipun ia terjadi. Contohnya, kufur Abû Jahl, terjadinya bukan dengan sekehendak Allah. (Ummi Barahayn; 102).
4. Kalâm Allah mempunyai huruf dan mempunyai suara.
5. Makna Allah mutakallim adalah bahwa Allah itu yang menjadikan kalâm, bukan sifat yang ada pada zat Allah (Dusûqî; 114).
Dalam lima hal sebagaimana tersebut di atas, antara lain terdapat perbedaan antara akidah menurut pemahaman Mu`tazilah dengan akidah yang dianut oleh Ahlussunnah Wal Jamaah. Kaum Ahlussunnah mendasarkan pendapatnya pada al-Quran, karena sifat-sifat ma`ânî yang wajib ada pada Allah antara lain terdapat dalam al-Quran Surat An-Nahl ayat 70 :
Artinya: Allah menciptakan kamu kemudian mewafatkan kamu, dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun) supaya tidak mengetahui lagi suatupun yang pernah diketahuinya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.
Dalam ayat ini ada dua sifat Allah yang disebutkan, yaitu `Alîm dan Qadîr. Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: Itulah ayat-ayat Allah, yang kami bacakan kepadamu dengan benar, dan tiada Allah berkehendak menganiaya hamba-Nya.
Dalam ayat ini Allah menyebut sifat irâdah-Nya yaitu dalam kalimat: Berikutnya dalam surat asy-Syu`arâ’ ayat 220 Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan Maha Mengetahui.
Dalam ayat ini Allah menyebutkan dua sifat bagi-Nya yaitu as-Samî` dan al-`Alîm. Sementara itu dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu memberi rizki yang luas kepada siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-Nya.
Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah Maha Melihat, dan dalam ayat berikut ini Allah berfirman:
Artinya: Allah, tiada Tuhan (yang disembah) melainkan Dia, yang hidup lagi kekal.
14. Keadaan Allah yang berkuasa.
15. Keadaan Allah yang berkehendak.
16. Keadaan Allah yang mengetahui.
17. Keadaan Allah yang hidup.
18. Keadaan Allah yang mendengar.
19. Keadaan Allah yang melihat.
20. Keadaan Allah yang berkata-kata.
Tujuh sifat yang tersebut terakhir di atas dinamai dengan sifat ma`nawîyah, sebab antara tujuh sifat ini dengan tujuh sifat sebelumnya berhubungan. Maka sifat ini dibangsakan kepada sebelumnya yaitu tujuh sifat ma`ânî. Sifat ini adalah sifat tsubSûtîyah, yaitu tsubût pada zat Allah, dan ada pada Allah. Kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah dan Mu`tazilah, sepakat bahwa tujuh sifat ma`nawiyah itu wajib adanya pada Allah.
Dalam pandangan dan keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah, tujuh sifat ma`ânî dan tujuh sifat ma`nawîyah wajib ada pada Allah dan wajib diyakini (di-i`tiqâd-kan) bahwa empat belas sifat itu ada pada Allah, dan tidak sempurna serta belum sah akidah seseorang sebelum ada keyakinan tersebut. Dalam pandangan Mu`tazilah, sifat ma’ânî tidak ada pada Allah, yang ada hanya sifat ma`nawîyah.
No comments:
Post a Comment